Jumaat, September 12, 2008

Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy

Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy


Suatu petang, di Tahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang di situ terasa hening mencengkam. Jeneral Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan.

Setiap banduan penjara membongkokkan badannya rendah-rendah ketika 'algojo penjara' itu melintasi di hadapan mereka. Kerana kalau tidak, sepatu 'boot keras' milik tuan Roberto yang fanatik Kristian itu akan mendarat di wajah mereka. Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci. "Hai... hentikan suara jelekmu! Hentikan... !" Teriak Roberto sekeras-kerasnya sambil membelalakkan mata. Namun apa yang terjadi? Laki-laki di kamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu'nya.

Roberto bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk satu orang. Dengan marah ia menyemburkan ludahnya ke wajah tua sang tahanan yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyucuh wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala. Sungguh ajaib... Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan. Bibir yang pucat kering milik sang tahanan amat galak untuk meneriakkan kata Rabbi, wa ana 'abduka... Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, "Bersabarlah wahai ustaz... InsyaAllah tempatmu di Syurga."

Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustaz oleh sesama tahanan, 'algojo penjara' itu bertambah memuncak marahnya. Ia memerintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-kerasnya sehingga terjerembab di lantai.


"Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa hinamu itu?! Aku tidak suka apa-apa yang berhubung dengan agamamu! Ketahuilah orang tua dungu, bumi Sepanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan bapa kami, Tuhan Jesus. Anda telah membuat aku benci dan geram dengan 'suara-suara' yang seharusnya tidak didengari lagi di sini. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau mahu minta maaf dan masuk agama kami."


Mendengar "khutbah" itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan yang tajam dan dingin. Ia lalu berucap, "Sungguh... aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, Allah. Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemahuanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh."


Sejurus sahaja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah berlumuran darah. Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah 'buku kecil'. Adolf Roberto berusaha memungutnya. Namun tangan sang Ustaz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat. "Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!" bentak Roberto.


"Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!"ucap sang ustaz dengan tatapan menghina pada Roberto. Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu lars seberat dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustaz yang telah lemah. Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati.


Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan 'algojo penjara' itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur. Setelah tangan tua itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya baran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh. Mendadak algojo itu termenung.


"Ah... seperti aku pernah mengenal buku ini. Tetapi bila? Ya, aku pernah mengenal buku ini." Suara hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu. Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan "aneh" dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Sepanyol. Akhirnya Roberto duduk di samping sang ustaz yang sedang melepaskan nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak.Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Pemuda itu teringat ketika suatu petang di masa kanak-kanaknya terjadi kekecohan besar di negeri tempat kelahirannya ini. Petang itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa gugur di bumi Andalusia.


Di hujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab) digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin petang yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara. Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mahu memasuki agama yang dibawa oleh para rahib. Seorang kanak- kanak laki-laki comel dan tampan, berumur sekitar tujuh tahun, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua. Kanak kanak comel itu melimpahkan airmatanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan.

Perlahan-lahan kanak - kanak itu mendekati tubuh sang ummi yang tak sudah bernyawa, sambil menggayuti abinya. Sang anak itu berkata dengan suara parau, "Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa... .? Ummi, cepat pulang ke rumah ummi... " Budak kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu apa yang harus dibuat . Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah. Akhirnya budak itu berteriak memanggil bapaknya, "Abi... Abi... Abi... " Namun ia segera terhenti berteriak
memanggil sang bapa ketika teringat petang kelmarin bapanya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.


"Hai... siapa kamu?!" jerit segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati budak tersebut. "Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi... " jawabnya memohon belas kasih. "Hah... siapa namamu budak, cuba ulangi!" bentak salah seorang dari mereka. "Saya Ahmad Izzah... " dia kembali menjawab dengan agak kasar. Tiba-tiba "Plak! sebuah tamparan mendarat di pipi si kecil. "Hai budak... ! Wajahmu cantik tapi namamu hodoh. Aku benci namamu. Sekarang kutukar namamu dengan nama yang lebih baik. Namamu sekarang 'Adolf Roberto'... Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang buruk itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!" ancam laki-laki itu."


Budak itu mengigil ketakutan, sembari tetap menitiskan air mata. Dia hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi. Akhirnya budak tampan itu hidup bersama mereka. Roberto sedar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang ustaz. Ia mencari-cari sesuatu di pusat laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah 'tanda hitam' ia berteriak histeria, "Abi... Abi... Abi... " Ia pun menangis keras,
tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Fikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapanya yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia jua ingat betul ayahnya mempunyai 'tanda hitam' pada bahagian pusat.


Pemuda bengis itu terus meraung dan memeluk erat tubuh tua nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas tingkah-lakunya selama ini. Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun lupa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, "Abi...aku masih ingat alif, ba, ta, tha... " Hanya sebatas kata itu yang masih terakam dalam benaknya. Sang ustaz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyeksanya habis-habisan kini sedang memeluknya. "Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuhi Abi, tunjukkan aku pada jalan itu... " Terdengar suara Roberto meminta belas. Sang ustaz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika setelah puluhan tahun, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, di tempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah.


Sang Abi dengan susah payah masih boleh berucap. "Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu," Setelah selesai berpesan sang ustaz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimah indah "Asyhadu anla Illaahaillallah, wa asyhadu anna Muhammad Rasullullah... '. Beliau pergi dengan menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang dibumi yang fana ini.


Kini Ahmah Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agamanya, 'Islam, sebagai ganti kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru berguru dengannya... "

Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy.


Benarlah firman Allah...

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS>30:30)


Syeikh Al-Islam Turki yang terakhir iaitu As-Syeikh Mustafa Al Basri telah menegaskan dalam bukunya ...

"Sekularisma yang memisahkan ajaran agama dengan kehidupan dunia merupakan jalan paling mudah untuk menjadi murtad."


Dari : Al-Manahil

Isnin, September 08, 2008

Perasaan Ayah dan Ibu

Assalamualaikum
Tuan Puan Budiman

Seorang ibu tua yang saya temui di Terminal Bas selatan Tanahair, sewaktu menunggu bas Eagle jam 8.30 mlm ke Kuala Lumpur, berbual sambil bercerita. Perbualan yang menyuntik keinsafan, berkisar tentang hati seorang ibu.

'Dah tua-tua begini, kerjanya, susah hati saja nak', katanya pendek.
'Makcik susah hati mengenangkan anak-anak makcik. Anak bongsu makcik jarang sangat kirim berita. Dia dah lama di London. Makcik risau sangat tentang dia. Dah berkali-kali makcik suruh dia balik, kerja je dekat sini, senang. Tak juga dia dengar. Abangnya ada, tapi tak ambil kisah sangat. Dia kerja besar, orang besar Universiti. Sibuk sangat dengan kerja dan keluarga dia. Hidup makcik taklah susah, tapi hmm entahlah, makcik pun tak tahu nak cakap macamana. Entah esok, entah lusa, makcik tak de'.Ibu tua itu terdiam lama.

Pasti ibu tua itu tidak keseorangan terperosok dalam alunan perasaan sedemikian. Tidak sedikit ibu ayah yang sugul, susah hati, kecil hati, terkilan akibat seribu satu macam perkara dan peristiwa yang berkait dengan hal anak-anak. Anak-anak yang dulunya dididik dengan penuh tanggungjawab, kini sudah dewasa. Mereka sudah pun bekerja, ada yang sudah berkeluarga, punya isteri, suami dan anak-anak. Mereka sudah miliki kehidupan sendiri. Namun, mungkin dek kerana sibuk dengan kerjaya, keluarga dan tuntutan kehidupan kini, ada adab-adab terhadap ibubapa yang kita abaikan, ada cacat cela yang tumbuh dalam hubungan kita dengan ibu dan ayah. Akibat kealpaan itu, hati dan perasaan halus ibu dan ayah mungkin terguris. Tinggallah ibu ayah seakan terbiar sepi dan terlonta-lonta membendung perit perasaan yang sukar orang lain nak faham.

Rupanya, cabaran ketaatan dan berbuat baik terhadap ibubapa datang lebih hebat sewaktu mereka dah tua dan kita dah dewasa dan berkeluarga. Kadang-kadang kita terlepas pandang, tak perasan, tak kisah atau rasa semua dah ok. Makan minum ada, pakaian semua cukup, tempat tinggal bagus? Kira ok dah? Tetapi jauh di sudut jiwanya, mungkin ada kekosongan yang tidak terisi dengan perkara makan dan minum, mungkin ada nilai kasih sayang dan hormat yang kita abaikan pada mereka?


Bagaimana Sikap Kita?

Ada baik kiranya kita duduk sejenak memikirkan di mana kita dalam soal ini. Kita suluh kembali perlakuan dan sikap kita terhadap ibu dan ayah.. Hal ini amat penting kerana :
1. Ia ada hubungkait dengan kebahagiaan dunia dan akhirat kita. Redha Ibubapa pintu keredhaan Allah dan Syurga yang penuh kenikmatan itu letaknya di bawah tapak kaki ibu.
2. Kita akan tua juga. Masa berlari pantas, kita akan mengambil usia tua ibu ayah dan rentak perasaan orang-orang tua.. Anak-anak akan ambil tempat kita. Kita akan lebih faham perasaan ibu ayah bila kita berada di tempat mereka.
3. Bagaimana kita melayan ibu ayah kita, anak-anak kita tengok saja. Tak payah diajar, mereka akan ikut semuanya dan tanamkan dalam memori mereka. Waktu kita dah tua nanti, mereka ulangi saja.

Sementara ibu dan ayah masih ada, kita masih belum terlewat, kesempatan ini jangan dipersiakan. Bagi ibu ayah yang dah meninggal dunia, ada tuntutan dan tanggungjawab yang perlu kita buat. Selagi ada nyawa, ada kesempatan, ada kesedaran dan ada kemahuan, inshaAllah, kita boleh usahakan sesuatu.


Artikel untuk terjemahan coursework COMPUTER AIDED-TRANSLATION.

Sabtu, September 06, 2008

Lelaki Bernama Ayah

Kenapa ayah,
Jarang kau berbicara tentang hatimu
Susah benar mendengar suara tangismu
Amat payah melihat ukir tawamu
Mungkin betul madah melayu
Mulut lelaki di hati
Apa saja dilalui
Apa saja didepani
Tak pernah kau mengelak
Takkan sekali kau berundur
Tangis kami kau redakan
Gelisah hati kami kau leraikan
lara kami bahagia gantianmu

Sungguh ayah,
Tiada ketakutan tika kau di sisi
Takkan kami kau biar bersusah
Hingga kekadang kami sendiri terlupa
Bahawa kau jua manusia biasa
Pastinya punya hasrat dan harapan
Yang ingin anak-anakmu ini penuhi

Katakanlah ayah
Bahawa kau ingin dilindungi dan disayangi
Ingin dipeluk dan diberi manja
Malah makin menganjak usiamu
Makin lembut hati kecilmu
Maafkan kami ayah,
Kami alpa
Kami kalut mengejar cita-cita

Tika kau rindukan hangat mesra sentuhan kami
Kami diasak kerja yang tiada sudah
Tika kau mengadu sakit peningmu,
Kami berlapang dada
Kerana pada akal kami
Kau bijak bertindak sendiri
Sedangkan kami abaikan kata hati
Bukan ubat penawar sakitmu
Tapi suara kami pengubat rindumu
Bukan istana mewah buat takhta seorang diri
Tapi pondok kecil berisi gelak tawa kami
Maafkan kami ayah,
Kami terlupa lagi



Dalam diammu,
Aku tau hatimu seringkali berombak
Acapkali dilambung gelombang
Namun tak terlihat air jernih menitis di pipi tuamu
Hanya wajah mendungmu pantulan luahan nurani
Engkau tidak pandai berbicara manis
Apatah lagi bermadah pujangga
Namun setiap janjimu tak pernah kau mungkiri
Engkau tak pandai menyatakan
Namun dari setiap gerak gayamu
Aku teramat mengerti
Segalanya memancar kasih dan sayang

Kenapa ayah?
Kenapa tak pernah kau luahkan kegusaran jiwamu
Tak pernah terdengar sedu pilumu
Mengapa ayah?
Sakit dan lelahmu tak pernah kau jaja pada anak-anakmu ini
Agar permata hatimu ini mengerti?
Mengapa ayah?
Langkahmu yang makin tak berdaya itu kau sembunyikan
Lalu kau gagahkan jua walaupun dalam kepayahan

Maafkan kami ayah
Kami masih tak mengerti ketika itu
Kerna sirna dengan kemelut arus
Kini, izinkanlah anakmu ini menyuluh tiap jawaban
Membuka rahsia yang terpendam di ruang rasamu
Kenyataan yang melambangkan betapa kasihnya engkau pada kami
Cinta tulusmu yang hanya bisa dihitung Illahi
Tak terbalas walau sepanjang hayat dirimu kujaga dan kumanja
Segalanya kau lakukan
Segalanya kau sembunyikan
Segalanya kau teruskan
Hanya kerana kau bernama lelaki
Lelaki yang kasar tangannya demi memenuhi keinginan seorang anak
Lelaki yang terkunci bibirnya bila melihat senyum bahagia seorang isteri
Lelaki yang tergalas dibahunya berat imbalan balasan dunia akhirat.



Hanya kerana itu kau tiada masa melayan hatimu
Walaupun kekadang rasa resah membadai di jiwamu
Hanya kerana itu kau abaikan rajuk hatimu
Walau kekadang kau ingin benar dipujuk
Segalanya hanya kerana kau bernama LELAKI?
LELAKI yang kami gelar AYAH?.
Maafkan kami ayah?

17 September 2006
UNIMAS
AD
0008

Jumaat, September 05, 2008

DOA HARIAN




"Dengan nama Allah yang bersamaNya tidak celaka sesuatu pun yang ada di bumi dan di langit. Dan Dialah Yang Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui."

Keutamaan doa ini:

Dari Uthman bin Affan r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda: "Tiada seorang hamba pun yang mengucapkan setiap pagi dan petang sebanyak tiga kali "Bismillahilladzi la yadurru ma'asmihi..." pasti tidak ada sesuatu pun yang dapat membahayakannya." (Hadith Riwayat Abu Daud dan Tarmizi).

PERARAKAN KEMERDEKAAN DI QUEENSBAY







Pada 31 Ogos 2008 yang lalu, Persatuan Seni Silat Cekak Universiti Sains Malaysia (PSSCMUSM), telah turun padang untuk sama-sama menyertai hari perarakan kemerdekaan yang telah diadakan di Queensbay. Perarakan persatuan ini telah diketuai oleh Prof Madya Ar Dr Abdul Majid Bin Ismail selaku penyelia PSSCMUSM. Pemegang sepanduk ialah saudari Ani iaitu exco PSSCMUSM untuk sesi 2008/2009. Manakala, panji-panji telah dibawa oleh saudara Din (bendera Pulau Pinang), saudara Azlizal (bendera Malaysia) dan saudara Azim (bendera PSSCM). Semoga kemerdekaan yang kita kecapi hari ini akan berkekalan hinggalah ke masa hadapan. InsyaAllah. Bersama-samalah kita memelihara kedaulatan negara kita yang tercinta ini.

Selasa, September 02, 2008

IBUKU SEORANG PEMBOHONG

Ibuku seorang pembohong ??? Memang sukar untuk orang lain percaya,tapi itulah yang berlaku. Ibu saya memang seorang pembohong!! Sepanjang ingatan saya sekurang-kurangnya 8 kali ibu membohongi saya. Saya perlu catatkan segala pembohongan itu untuk dijadikan renungan anda sekalian. Cerita ini bermula ketika saya masih kecil. Saya lahir sebagai seorang anak lelaki dalam sebuah keluarga miskin. Makan minum serba kekurangan. Kami sering kelaparan. Adakalanya, selama beberapa hari kami terpaksa makan berlaukkan ikan masin dikongsi satu keluarga. Sebagai anak yang masih kecil, saya sering saja merungut. Saya menangis mahukan nasi dan lauk yang banyak. Tapi ibu cepat memujuk. Ketika makan, ibu sering membahagikan bahagian nasinya untuk saya. Sambil memindahkan nasi ke mangkuk saya, ibu berkata : ""Makanlah nak ibu tak lapar." – PEMBOHONGAN IBU YANG PERTAMA.

Ketika saya mulai besar ibu yang gigih sering meluangkan watu senggangnya untuk pergi memancing di tali air berhampiran rumah. Ibu berharap dari ikan hasil pancingan itu dapat memberikan sedikit makanan untuk membesarkan kami adik-beradik. Pulang dari memancing, ibu memasak gulai ikan yang segar dan mengundang selera. Sewaktu saya memakan gulai ikan itu ibu duduk disamping kami dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang daripada bekas sisa ikan yang saya makan tadi. Saya sedih melihat ibu seperti itu.. Hati saya tersentuh lalu dengan menggunakan sudu saya memberikan ikan itu kepada ibu. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya. Ibu berkata : "Makanlah nak, ibu tak suka makan ikan." – PEMBOHONGAN IBU YANG KEDUA.

Di usia awal remaja, saya masuk sekolah menengah. Ibu pergi ke kedai dengan membawa sejumlah penyapu lidi dan kuih-muih untuk menyara persekolahan saya,abang dan kakak. Suatu dinihari lebih kurang pukul 1.30 pagi saya terjaga dari tidur. Saya melihat ibu membuat kuih dengan beremankan sebuah pelita di hadapannya. Beberapa kali saya melihat kepala ibu terhangguk kerana mengantuk. Saya berkata : "Ibu, tidurlah, esok pagi ibu kena pergi kebun pula." Ibu tersenyum dan berkata : "Cepatlah tidur nak, ibu belum mengantuk lagi." – PEMBOHONGAN IBU YANG KETIGA.

Di hujung musim persekolahan, ibu meminta cuti kerja supaya dapat menemani saya pergi ke sekolah untuk menduduki peperiksaan penting. Ketika hari sudah siang, terik panas matahari mulai menyinari, ibu terus sabar menunggu saya di luar dewan. Ibu seringkali saja tersenyum dan mulutnya terkumat-kamit berdoa kepada Illahi agar saya lulus ujian peperiksaan ini dengan cemerlang. Ketika loceng berbunyi menandakan ujian sudah selesai, ibu dengan segera menyambut saya dan menuangkan kopi yang sudah disiapkan dalam botol yang dibawanya. Kopi yang kental itu tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang ibu yang jauh lebih kental. Melihat tubuh ibu yang dibasahi peluh, saya segera memberikan cawan saya itu kepada ibu dan menyuruhnya minum. Tapi ibu cepat-cepat menolaknya dan berkata : "Minumlah nak, ibu tak haus!!" – PEMBOHONGAN IBU YANG KEEMPAT.

Setelah pemergian ayah kerana sakit, iaitu selepas saya baru beberapa bulan dilahirkan, ibulah yang mengambil tugas sebagai ayah kepada kami sekeluarga. Ibu bekerja mengambil upah di kebun, membuat penyapu lidi dan menjual kuih-muih agar kami tidak kelaparan. Tapi apalah sangat kudrat seorang ibu. Kehidupan keluarga kami semakin susah dan susah. Melihat keadaan keluarga yang semakin parah, seorang pakcik yang baik hati dan tinggal berjiran dengan kami, datang untuk membantu ibu. Anehnya, ibu menolak bantuan itu. Jiran-jiran sering kali menasihati ibu supaya menikah lagi agar ada seorang lelaki yang akan menjaga dan mencarikan wang untuk kami sekeluarga. Tetapi ibu yang keras hatinya tidak mengendahkan nasihat mereka. Ibu berkata : "Saya tidak perlukan cinta dan saya tidak perlukan lelaki." – PEMBOHONGAN IBU YANG KELIMA.

Setelah kakak dan abang habis belajar dan mula bekerja, ibu sudah pun tua. Kakak dan abang menyuruh ibu supaya berehat sahaja di rumah. Tidak payahlah lagi bersusah payah dan bersengkang mata untuk mencari duit. Tetapi ibu tidak mahu. Ibu rela pergi ke pasar setiap pagi menjual sedikit sayur untuk memenuhi keperluan hidupnya. Kakak dan abang yang bekerja jauh di kota besar sering mengirimkan wang untuk membantu memenuhi keperluan ibu, pun begitu ibu tetap berkeras tidak mahu menerima wang tersebut. Malahan ibu mengirim balik wang itu dan ibu berkata : "Jangan susah-susah, ibu ada duit." – PEMBOHONGAN IBU YANG KEENAM.

Setelah tamat pengajian di universiti, saya melanjutkan lagi pelajaran ke peringkat sarjana di luar Negara. Pengajian saya di sana dibiayai sepenuhnya oleh sebuah syarikat besar. Sarjana itu saya sudahi dengan cemerlang,kemudian saya pun bekerja dengan syarikat yang telah membiayai pengajian saya juga di luar negara. Dengan gaji yang agak lumayan, saya berhajat membawa ibu untuk menikmati penghujung hidupnya di luar negara. Pada pandangan saya, ibu sudah puas bersusah payah untuk kami. Hampir seluruh hidupnya habis dengan penderitaan, eloklah kalau hari-hari tuanya ini ibu habiskan dengan keceriaan dan keindahan pula. Tetapi ibu yang baik hati, menolak ajakan saya. Ibu tidak mahu menyusahkan anaknya ini dengan berkata ; "Tak payahlah, ibu tak biasa tinggal di negara orang." – PEMBOHONGAN IBU YANG KETUJUH.


Beberapa tahun berlalu, ibu semakin tua.. Suatu malam saya menerima berita ibu diserang penyakit kanser. Ibu mesti dibedah secepat mungkin. Saya yang ketika itu berada jauh diseberang samudera terus segera pulang untuk menjenguk ibunda tercinta. Saya melihat ibu terbaring lemah di katil hospital setelah menjalani pembedahan. Ibu yang kelihatan sangat tua, menatap wajah saya dengan penuh kerinduan. Ibu menghadiahkan saya sebuah senyuman biarpun agak kaku kerana terpaksa menahan sakit yang menjalari setiap inci tubuhnya.. Saya dapat melihat dengan jelas betapa seksanya penyakit itu telah memamah tubuh ibu sehingga ibu menjadi terlalu lemah dan kurus. Saya menatap wajah ibu sambil berlinangan air mata. Saya cium tangan ibu kemudian saya kecup pula pipi dan dahinya. Di saat itu hati saya terlalu pedih, sakit sekali melihat ibu dalam keadaan seperti ini. Tetapi ibu tetap tersenyum dan berkata : "Jangan menangis nak, ibu tak sakit." – PEMBOHONGAN IBU YANG KELAPAN.

Setelah mengucapkan pembohongan yang kelapan itu, ibunda tercinta menutup matanya untuk kali terakhir kali.

Anda bertuah kerana masih mempunyai ibu dan ayah. Anda boleh memeluk dan menciumnya. Kalau ibu anda jauh dari mata, anda boleh menelefonnya sekarang, dan berkata, 'Ibu,saya sayangkan ibu.' Tapi tidak saya. Sehingga kini saya diburu rasa bersalah yang amat sangat kerana biarpun saya mengasihi ibu lebih dari segala-galanya, tapi tidak pernah sekalipun saya membisikkan kata-kata itu ke telinga ibu, sampailah saat ibu menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Ibu, maafkan saya. Saya sayangkan ibu…

Emel ni tlh dikirimkn oleh slh seorang member group ke lagu-nasyid groups.
HAYATILAH...